Surabaya. Media Demokrasi.com – Polisi bertindak cepat mengusut peristiwa penganiayaan yang terjadi di Institut Teknologi Maritim Surabaya (Poltekper Surabaya) Jalan Gunung Anyar Boulevard Surabaya.
Polisi akhirnya menetapkan 19 tersangka, seorang warga Jalan Banyu Urip Surabaya, yang berinisial AJP, setelah menanyai 12 saksi atas dugaan pencabulan terhadap juniornya di sebuah kampus. diidentifikasi secara khusus.
AJP tersangka saat itu memukul perut korban hingga menyebabkan korban MRFA, 20 tahun, yang tinggal di Bansal, Mojokerto, jatuh dan akhirnya meninggal setelah dirawat di rumah sakit.
“Tersangka memukul dua kali pada perut korban dan saat itu juga korban tumbang,” kata Kapolres Surabaya Kombes Pol Ahmad Yousep Gunawan kemarin melalui Direktur Humas Kompor Muchamad Fakif kemarin. (8/1).
Serangan itu terjadi pada pukul 19:30 pada hari Minggu (5 Februari). Saat itu, korban disuruh oleh empat orang senior berusia 19 tahun, termasuk AJP, untuk pergi ke kamar mandi dari kantin asrama.
Korban langsung dianiaya, dipukul berkali-kali di bagian perut dan wajah hingga terlihat trauma di bibir bawah dan dagu.
“Saat tersangka dipukul di bagian perut, korban langsung pingsan,” kata Compor Faki.
Korban kemudian dibawa ke rumah sakit dan meninggal dunia pada Senin pagi (2/6).
Pemeriksaan awal terhadap tubuh menunjukkan bahwa penyebab utama kematian korban adalah luka di perut. “Penyebab kematian korban adalah sakit perut,” katanya.
Jenazah mahasiswa MRFA-nya di Sekolah Tinggi Teknik Maritim (Poltekpel) itu dimakamkan di pemakaman di Desa Proniti, Kecamatan Bangsal, Kabupaten Mojokert.
Sebelumnya, tim Polestave Surabaya dan tim forensik Polda Jatim menggali kembali jenazah korban untuk mengetahui penyebab kematian seorang pelajar Tingkat 1.

Fakih mengatakan pihaknya masih mendalami keberadaan tersangka baru tersebut.
Kompol Fakih memastikan tidak ada motif balas dendam dalam kejadian tersebut. “Saya sangat menyayangkan masih ada budaya pukul di kampus karena pembinaan dari senior ke junior,” pungkasnya.
Seperti dilansir Berita Jatim, Isa Ansori, pengamat pendidikan dan anggota Dewan Pendidikan Jatim, mengatakan kekerasan dalam pendidikan seharusnya tidak terjadi.
Kasus seperti MRF hanya mengaburkan wajah pendidikan di Indonesia, katanya.
Karena pendidikan, menurut Isa, justru membantu orang jahil untuk mengetahui bahwa yang tidak beradab akan menjadi beradab. “Oleh karena itu, untuk tujuan pendidikan, kami memastikan adanya etika kemampuan untuk menghargai dan menghormati orang lain. ( Red )